AKHLAK BERNEGARA
Akhlak
dalam Bernegara
Oleh
: Jesika Amanda 14804244009
Di dalam sebuah kitab Al-Qur’an terdapat banyak aturan dan larangan
yang telah Allah tulis di dalamnya. Bagaimana kita sebagai seorang warga negara
menjalnkan tugas? Tentunya Allah sudah mengaturnya di alam Al-Qur’an ,dan kita
dapat mempelajarinya melalui hadis-hadis. Agama islam juga mengajarkan kita
untuk bernegara, karena dahulu pada zaman nabi, negara itu juga sudah ada. Di
dalam pembahasan ini, akan dibahas lebih detail tentang “akhlak bernegara”
A.
Pendahuluan
Umat manusia tentunya menginginkan surga sebagai tempat tujuan.
Untuk mencapai surga, kita harus melewatinya di kehidupan duniawi ini. Mencari
pahala sebanyak-banyaknya dengan menjalankan semua perintahnya dan menjauhi
segala larangan. Walaupun manusia tidak sempurna, tetapi tidak ada salahnya
jika kita sebagai manusia mempelajari hal apa saja yang menjadi perintah Allah
dan apa saja yang dilarang Allah.
Salah satu dari berbagai hal yang harus kita pelajari adalah
akhlaq. Banyak akhlak di dalam islam yang harus kita pelajari agar bisa
dilaksanakan dikehidupan nyata. Terdapat banyak akhlak yaitu Akhlak kepada
Allah, Akhlak kepada Rasulullah,Akhlak kepada Kedua Orang Tua dan Guru,Akhlak
kepada Diri Sendiri,Akhlak di Tengah Masyarakat,Akhlak terhadap
Lingkungan,Akhlak dalam Bernegara. Dan masih banyak lagi. semua akhlak harus
kita tahu batasan-batasannya, yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Semua
akhlak penting, karena akhlaq bisa menentukan kepribadian. Tidak ada satu
akhlak pun yang tidak penting.
Di zaman globalisasi ini, banyak orang yang mengaku islam tapi
akhalq nya tidak seperti yang diajakan Rasulullah saw. Banyak orang yang akhlaq
nya sudah rusak karena pengaruh sekularisme, dan pengaruh-pengaruh lain dari
barat. Sangat memprihatinkan keadaan tersebut. Jika generasi penerus bangsa
akhlaq nya tidak bagus, lalu mau jadi apa negara kita ini? Jika disuatu saat
nanti, indonesia dipenuhi budaya yang seperti ini, warga tidak berakhlaq
memilih presiden yang tidak berakhlaq. Bisa anda bayangkan keadaan negeri kita
jika keadaannya seperti itu? Dari kasus tersebut, salah satu akhlaq yang
penting yang harus kita ketahui adalah akhlak dalam bernegara.
Bagaimana seharusnya sikap kita sebagai manusia yang taat kepada
Allah menjalankan kewajiban sebagai seorang warga negara dalam suatu negara?
Bernegara di dalam islam sudah terjadi sejak zaman Rasulullah saw. banyak hal
yang harus kita lakukan untuk memenuhi kewajiban kita sebagai hamba Allah dan
juga sebagai Warga negara. Patuh terhadap aturan negara juga merupakan salah
satu yang Allah perintahkan.
B.
Akhlak
a.
Pengertian akhlak
Akhlak
merupakan komponen dasar islam yang ketiga berisi ajaran tentang perilaku atau
sopan santun. Atau dengan kata lain akhlak dapat disebut sebagai aspek ajaran
islam yang mengatur perilaku manusia. Dalam pembahasan akhlak diatur mana
perilaku yang terfgolong baik dan buruk.
Akhlak
maupun syariah pada dasarnya mengajarkan perilaku manusia, yang berbeda di
antara keduanya adalah obyek materia. Syariah melihat perbuatan manusia dari
segi hukum, yaitu wajib, sunat, mubah, makruh, dan haram. Sedangkan akhlak
melihat perbuatan manusia dari segi nilai atau etika, yaitu perbuatan baik dan
buruk.
Akhlak
merupakan bagian yang sangat penting dalam ajaran agama islam, karena perilaku
manusia merupakan objek utama ajaran islam. Bahkan maksud diturunkan agama
adalah untuk membimbing sikap dan perilaku manusia agar sesuai dengan
fitrahnya. Agama menyuruh manusia agar meninggalkan kebiasaan buruk dan
menggantikannya dengan ikap dan perilaku yang baik. Agama menuntun manusia agar
memelihara an mengembangkan kecenderungan mental yang bersih dan jiwa yangsuci.
Karena itulah rasul bersabda “tiadalah aku diutus melainkan untuk
menyempurnakan akhlak dan perilaku manusia”
Alhasil,
akhlak merupakan sistematika islam. Sebagai sistem, akhlak memiliki spektrum
yang luas, mulai sikap terhadap dirinya, orang lain. Dan makhluk lain, serta
terhadap tuhannya.
b.
Ruang lingkup akhlak
Adapun ruang lingkup
bidang studi akhlak adalah:
- Akhlak terhadap diri sendiri meliputi kewajiban terhadap dirinya disertai dengan larangan merusak, membinasakan dan menganiyaya diri baik secara jasmani (memotong dan merusak badan), maupun secara rohani (membirkan larut dalam kesedihan).
- Akhlak dalam keluarga meliputi segala sikap dan perilaku dalam keluarga, contohnya berbakti pada orang tua, menghormati orang tua dan tidak berkata-kata yang menyakitkan mereka.
- Akhlak dalam masyarakat meliputi sikap kita dalam menjalani kehidupan soaial, menolong sesama, menciptakan masyarakat yang adil yang berlandaskan Al-Qur’an dan hadis.
- Akhlak dalam bernegara meliputi kepatuhan terhadap Ulil Amri selama tidak bermaksiat kepada agama, ikut serta dalam membangun Negara dalam bentuk lisan maupun fikiran.
- Akhlak terhadap agama meliputi berimn kepada Allah, tidak menyekutukan-Nya, beribadah kepada Allah. Taat kepada Rasul serta meniru segala tingkah lakunya.
Prinsip akhlak dalam
Islam yang paling menonjol adalah bahwa manusia dalam melakukan
tindakan-tindakannya, ia mempunyai kehendak-kehendak dan tidak melakukan
sesuatu. Ia harus bertanggung jawab atas semua yang dilakukannya dan harus
menjaga perintah dan larangan akhlak. Tanggung jawab itu merupakan tanggung
jawab pribadi muslim, begitupun dalam kehidupan sehari-hari harus selalu
menampakkan sikap perbuatan berakhlak. Akan tetapi akhlak bukalah semata-mata
hanya perbuatan akan tetapi lebih kepada gambaran jiwa yang tersembunyi.
c.
Tasawuf akhlaki
Akhlak manusia juga merupakan objek dari taswuf. Kata akhlak dan tasawuf jika disatukan akan
terbentuk sebuah frase yaitu tasawuf akhlaki. Secara etimologi, tasawuf akhlaki
ini bermakna membersihkan tingkah laku, atau saling membersihkan tingkah laku.
Sistem pembinaan akhlak (dalam tasawuf akhlaki)
1.
Takhalli
Takhali
merupakan langkah pertama yang harus dijalani seseorang, yaitu usaha
mengosongkan diri dari perilaku atau akhlak tercela. Hal ini dapat dicapai
dengan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha
menlenyapkan dorongan hawa nafsu.
2.
Tahalli
Tahalli adalah
upaya mengisi atau menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap,
perilaku, akhlak terpuji. Tahapan tahalli ini dilakukan setelah jiwa
dikosongkan dari akhlak-akhlak jelek.
3.
Tajalli
Untuk
memantapkan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli,
rangkaian pendidikan akhlak disempurnakan pada fase tajalli. Tahap tajalli ini
termasuk penyempurnaan kesucian jiwa. Para sufi sependapat bahwa tingkat
kesempurnaan kesucian jiwa hanya dapat ditempuh dengan satu jalan, yaitu cinta
kepada Allah dan memperdalam perasaan cinta itu
Karakteristik
tasawuf akhlaki
1.
Melandaskan
diri pada Al-Quran dan As-Sunnah. Dalam ajaran-ajarannya, cenderung memakai
landasan Qur’ani dan hadis sebagai kerangka pendekatannya.
2.
Kesinambungan
antara hakikat dengan syariat, yaitu keterkaitan antara tasawuf (sebagai aspek
batiniah) dengan fiqh (sebagai aspek lahirnya)
3.
Lebih
bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antar tuhan dan manusia
4.
Lebih
terkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlak dan pengobatan jiwa
dengan cara latihan mental (takhalli,tahalli,dan tajalli)
5.
Tidak
menggunakan teminologi-teminologi filsafat. Terminologi-terminologi yang
dikembangkan lebih transparan
C.
Negara
Pengertian negara menurut dalam ensiklopedi Pouler Politik
Pembangunan Pancasila (1983: 224) dijelaskan secara etimologis bahwa istilah
negara berasal dari nagari atau nagara (sansakerta) yang berarti
kota,desa,daerah,wilayah,atau tempat tinggal seorang pangeran. Negara dalam
bahasa inggris sering disebut state atau staat dalam bahasa Belanda. Kata state
berasal dari bahasa latin stato. Istilah stato digunakan pertama kali oleh
Machiaveli untuk menyebut wilayah negara atau pemerintahan yang dikuasai.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ber-negara diartikan sebagai
mempunyai negara dan menjalankan pemerintahan negara.
Seperti yang telah diungkapkan oleh beberapa tokoh ilmu negara,
terdapat pengertian negara yang beraneka ragam. Salah satunya yang tela dikutip
oleh Miriam Budiardjo (2007:39-40)
1.
Roger
H. Soltau menyatakan bahwa negara adalah alat atau wewenang yang menatur atau
mengendalikan persoalan bersama, atas nama masyarakat.
2.
Max
Weber mengemukakan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli
dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah
Dari definisi-definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
negara adalah suatu organisasi di antara sekelompok atau beberapa kolompok
manusia yang bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu dengan mengakui
adanya suatu pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan sekelompok
atau beberapa kelompok manusia tadi. Negara adalah organisasi yang memiliki
wilayah,rakyat, dan pemerintahan yang berdaulat serta mempunyai hak istimewa,
seperti hak memaksa, hak monopoli, hak mencangkup semua, yang bertujuan untuk
menjamin perlindungan, keamanan, keadilan, serta tercapainya tujuan bersama.
a.
Negara dan agama
Dikalangan cendikiawan muslim, polemik tentang hubungan antara
agama dan negara masih terjai perbedaan pendapat. Di indonesia, misalnya muncul
dua pendapat atau pandangan yaitu pendapat dan pandangan Nurcholis Madjid dan
H.M. Rasjidi. Nurcholis Madjid mengemukakan gagasan pembaharuan dan mengecam
dengan keras konsep negara islam sebagai berikut :
“dari tinjauan yang lebihprinsipil, konsep “negara islam” adalah
suatu distorsi hubungan proporsional antara agama dan negara. Negara adalah
salah satu segi kehidupan duniawi yang dimensinya adalah rasional dan kolektif,
sedangkan agama adalah aspek kehidupan yang dimensinya adalah spiritual dan
pribadi”. Menurut Tahir Azhary pandangan Nurcholis ini jelas telah memisahkan
antara kehiupan negara dan agama. Seorang intelektual muslim terkemuka yaitu
M.Rasjidi yang pernah menjabat Mentri Agama dan Duta Besar di Mesir dan
Pakistn, serta Guru Besar Hukum Islam dan Lembaga-Lembaga Islam di Universitas
Indonesia dengan sangat segan telah menulis suatu buku dengan judul “Koreksi
Terhadap Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi”. Kritik H.M.Rasjidi terhadap
pandangan Nurcholis dikutip oleh Muhammad Tahir Azhari, Guru Besar Hukum Islam
di Fakultas Hukum UI dalam bukunya yang berjudul Negara Hukum, Suatu studi
tentang Prinsip-Prinsip nya dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada
periode Negara Madinah dan Masa.
H.M. Rasjidi menunjukan bahwa pendapatnya bertentangan dengan
pendapat Nurcholis Madjid. Namun menurut penulis, perbedaan pendapat tersebut
disebabkan karena perbedaan dalam memahami ajaran islam dan tidak berarti bahwa
Nurcholis tidak percaya kepada al-Qur’an. Karena selama ini pemikiran Nurcholis
dibidang lain juga tidak bertentangan dengan umumnya umat islam. Memang
Nurcholis madjid mengatakan bahwa antara agama dan negara tidak dapat
dipisahkan, yaitu melalui individu warga negara trdapat pertalian tak
terpisahkan antara motvasi ataupun sikap batin bernegara dan kegiatan atau
sikap lahir bernegara. Namun antara keduanya harus dibedakan dalam dimensi
spiritual guna mengurus dan mengawasi sikap batin wagra negara, maka tak
mungkun pula memberikan predikat keagamaan pada negara tersebut. Pandangan yang
hampir mirip dengan Nurkholis Madjid adalah suatu pemikiran yang pernah
dikedepankan oleh H. Moh.Syafa’at Mintaredja dalam bukunya Islam dan
Politik;Islam dan Negara Indonesia. Mintaredja mempertegas pandangannya itu
dengan menggunakan kalimat dengan bahasa inggris “between religion and state in
the islam”. Dengan demikian, menurut Mintaredja, dalam batas ertentu ada juga
pemisahan antara negara dan agama. Argumen yang ia gunakan untuk memperkuat
pendapatnya itu adalah sebuah hadis Rasulullah yang ia pahami bahwa “Kamu lebih
mengetahui urusan keduniaanmu/keduniaanmu” tanpa menjelaskan latar belakang
lahirnya hadis itu.
Dalam konklusi bahwa dalam batas tertentu, dalam islam ada juga
pemisahan antara negara dan agama, M.Tahrir Azhary berpendapat, baik Nurkholis
maupun Mintaredja telah terjebak kedalam pikiran yang rancu, karena menurutnya,
islam dapat diartikan baik sebagai agama dalam arti sempit, maupun sebagai
agama yang berarti luas. Dengan demikian menurut M.Tahrir Azhary, konklusi
Mintaredja sesungguhnya kontradiktif dengan jalan pikirannya sendiri. Kalau
islam dalam arti luas ia tafsirkan sebagai “way of life now in the earth and in
the beaven after death”. Konsekuensi logis dari penafsiran itu seharusnya ialah
islam merupakan suatu totalistas yang komprehensif an karena itu tidak mengenal
pemisahan antara kehidupan beragama dan negara. M.Tahrir Azhary menyubutkan
bahwa hadis yang dipergunakan Mintaredja untuk memperkuat pendapatnya nampaknya
kurang tepat dan tidak sesuai dengan konteksnya. Karena sesungguhnya hadis itu
adalah dalam konteks pertanian, ketika Nabi menegur seseorang yang melakukan
penyilangan pohon kurma. Dengan demikian hadis yang dikemukakan oleh Mintaredja
itu tidak ada relevansinya dengan masalah kenegaraan.
Pendekatan Nurkhalis Madjid dan Mintaredja tersenut pernah juga
digunakan oleh Ali Abdurrazik, seorang sarjana Mesir yang menulis buku dengan
judul al islam wa Usul al-Hukum. Abdurazaik juga sampai paa konklusi
yang sama bahwa dalam islam terdapat pmisahan antara agama dan negara. Akan
tetapi pendapat mereka tidak mendapat sambutan di kalangan umat islam. Bahkan
buku tersebut telah mengguncangkan masyarakat secara luas dan al-Azae secara
khusus pada saat keluarnya buku itu. Berkenaan buku tersebut, kmudian dibentuk
suatu panitia khusus yang anggotanya terdiri dari para ulama al-Azhar terkemuka
untuk mengadili engarangnya. Akhirnya diutuskan pencabutan gelar akademisna dan
dia dikeluarkan dari barisan para ulama. Hampir semua ulama dan para pemikir
juga menyampaikan sanggahan terhadap tulisannya itu, baik dari kalanga al-Azhar
maupun dari luar al-Azhar. Di antara orang-orang yang menulis sanggahan Ali
Abdurraziq adalah Al-Allamah asy-Syaikh Muhammad Al-Khadhr Husain, Syaikh
al-Azhar sebelum itu dalam bukunya Naqdhu Kitabil islam wa Ushulul Hukmi,
begitu pula yang dilakukan seseorang mufti Mesir pada masa itu, yakni Al-Allaniah Asy-Saikh
Muhammad Bukhait Al-Muthi’y. Cara berfikir mereka dinilai sekuler dan
sebagaimana ditegaskan H. M. Rasjidi “segala persoalan sekularisasi adalah
konteks kebudayaan baat atau Chirtendom (ala Kristen). Dengan demikian
sekularisasi dan paham sekularisme tidak dikenal dalam islam.
Berdasakan fakta ontntik, jelas bahwa dalam al-Qur’an maupun dalam
Sunnah Rasul kehidupan agama (dalam hal ini islam) dengan kehidupannegara tidak
mungkin dipisahkan. Keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Salah satu
doktrin al-Qur’an yang memperkuat pendirian ini adalah adanya ayat yang
menyebutkan adanya kesatuan antara hubungan manusia dengan manusia yang
terdapat dalam surat ali imron.ayat 112. Ayat tersebut diperkuat lagi dengan
firman Allah yang trdapat pada surat AnNisa’ ayat 58-59 yang artinya
“sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan menyuruh kalian menetapkan hukum di antara manusia supaya
kalian menetapkan dengan adil., sesungguhnya Allah memberi pengajaan yang
sebaik-baiknya kepadakalian. Sesungguhnya Allah adalah m,aha pendengar lagi
maha melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasulnya dan ulil amri di antara kamu sekalian.
Menurut Yusuf al-Qardhawy ayat 58 ditujukan kepada ulil amri dan
penguasa, agar mereka memperhatikan amanat dan tetap menetapkan hukum secaaa
adil. Menyia-nyiakan amanat dan keadilan merupakan ancaman yang ditandai dengan
kehancuran umat dan negara. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang
artinya “jika amanat disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya”. Ada yang
bertanya “bagaimana menyia-nyiakannya?”. Beliau menjawab “jika urusan
diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya” (Hadis
diriwayatkan al-Bukhary).
Sedangkan ayat 59 surat An-Nisa’, menurut Yusuf al-Qardhway ditunjukan kepada rakyat
yang mukmin, bahwa mereka harus taat kepada “Ulil Ami”. Tetapi dengan sarat,
ketaatan ini dilakukan setelah ada ketaatan kepada Allah dan Rasul-nya. Disamin
itu, ada pula perintah untuk kembali
kepada Allah dan Rasul-Nya jika terjadi silang pendapat atau kepada Al-Qur’an
dan Sunnah. Hal ini jelas mengharuskan orang-orang muslim memiliki daulah yang
diataati. Jika tidak, urusan ini menjadi sia-sia.
Dalam konteks inilah sesungguhnya masalah hubungan agama islam
dengan negara harus ditempatkan. Dengan demikian jelas bahwa dalam islam, agama
dan negara memunyai pertalian yang erat. Hal ini didukung kenyataan yang ada dalam
sejarah selama masa Rasulullah SAW dan masa Khulufa al-Rasyidin dalam periode
Negara Madinah. Fakta ini menunjukan bahwa islam sejak lahirnbya selalu
berkaitan dengan aspek-aspek kenegaraan dan kemasyarakatan. Keadaan ini diakui
oleh banyak sarjana muslim,seperti yang sudah disebutkan dan juga oleh para
sarjana Barat seperti Bernard Lewis berpendapat bahwa “Persembahan kepada
kaisar apa-apa yang menjadi milik kaisar, dan kepada “tuhan apa yang menjadi
milik tuhan. Tentunya ini adalag doktrin dari praktek kristen. Hal ini
benar-benar asing bagi islam. Tiga agama besar timur tengah memiliki banyak
perbedaan dalam hubungan mereka dengan negara dan sikapnya terhadap kekuatan
politik. Judaisme dipertalikan dengan negara meskipun kemudian dipisahkan
darinya bentrokan mereka dengan agama pada saat-saat sekarang ini menimbulkan
roblem-problem yang sampai saat ini
belum terpecahkan. Kristen
terpisah bahkan antagonistic dengan negara, dengannya baru dikemudian baru
mereka terliba. Sedangkan islam sejak dari masa hidup pendiriannya adalah
sebuah negara, dan eperalian antara negara dan agama tertancap tanpa dapat
terhapuskan di dalam ingatan dan kesadaran pengikut setianya, di dalam kitab
suci, sejarah dan pengalamannya bertahan dengan susah payah sebagai minoritas
buronan selama berabad-abad membentuk masyarakat mereka sendiri, hukum-hukum
mereka sendiri di dalam suatu institusi yang dikenal dengan nama gereja hingga
dengan masuknya kristennya Constantinus Kaisar Roma dan Romanisasi Kristen.
Di dalam prosesnya sangat berbeda sekali. Muhammad tidak mati di
tiang salib. Sebagaimana dia seorang Nabi, maka beliau juga seorang prajurit
sekaligus negarawan, keala emerintahan dan pendiri dari suatu kerajaan, dan
pengikut-pengikutnya ditopang oleh seluruh kepercayaan akan manifestasi. Islam
sudah dipertalikan dengan kekuasaan sejak masa-masa awalnbya, sejak tahun-tahun
pertama pembentukannya, oleh Nabi dan Pengikut-Pengikutnya yang mula-mula.
Petalian antara agama dan kekuasaan, komunitas dan politik ini sudah daat
dilihat di dalam al-Qur’an sendiri dan naskah lain yang lebi dini yang atasnya
orang islam mendasarkan kepercayaannya. Sebagai salah satu konsekuensinya, di
dalam islam agama bukanlah sebagaimana yang dalam kristen suatu sistem atau
segmen, di dalam kehidupan, mengatur beberapa hal, sebaliknya agama berhubungan
dengan seluruh kehidupan, bukan suatu yuridiksi yang terbatas, melainkan total.
Pendapat bahwa dalam islam, agama dan negara mempunyai pertalian
yang erat, didukung oleh fakta sejarah selama masa Rasululllah dan Khulafa’
Rasyidin selama periode Negara Madinah merupakan bukti-bukti yang kuat, bahwa
islam sejak lahirnya selalu berkaitan dengan aspek-aspek kenegaraan dan
kemasyarakatan. Sejarah telah mengungkapan bahwa rasulullah saw telah
semaksimal mempergunakan kekuatan dan pikiran, yang ditopang hidayah Allah
berupa wahyu untuk mendirikan daulah islam dan negara bagi dakwah beliau serta
pengikutnya pada saat itu tidak ada bentuk kekuasaan yang ditetapkan kecuali
kekuasaan syari’at. Oleh karena itu beliau sendiri mendatangi berbagai kabilah,
agae mereka beriman kepada rasulullah SAW, mendukung dan ikut menjaga dakwah
beliau, hingga akhirnya Allah menganugrahkan “Anshar” dari kaum Aus dan Khazraj
yang beriman kepada risalah beliau. Ketika islam sudah menyebar dikalangan
masyarakat, maka pada musim haji datang urusan dari mereka yang ter4diri dari
tujuh puluh tiga orang laki-laki dan dua wanita, lalu mereka berbaiat kepada
beliau dan menyatakan kesediaan untuk melindungi baliau sebagaimana mereka
melindungi diri mereka sendiri, istri, dan anak-anak mereka, siap untuk tunduk
dan taat,memerinahkan kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar dan
seterusnya. Mereka menyatakan baiat atas semua itu sampai hijrah ke Madinah
sebagai upaya untuk mendirikan masyarakat yang berdaulat, dengan daulah islam
yang berdiri sendiri.
Tatkala Rasulullah SAW wafat pertama kali yang menyibukan para
sahabat adalah pemilihan pemimpin bagi mereka. Bahkan mereka lebih mengutamakan
urusan ini dari pada penguburan jenazah Rasulullah saw. Maka setelah melalui
musyawarah, terpilihlah Abu Bakar dan umat menyerahkan urusan mereka kepada Abu
Bakar dan begitu pula yang terjadi setelah Abu Bakar wafat dan seterusnya.
Dengan adanya ijma’ sejarah ini, yang dimulai dari era sahabat dan tabi’in,
para ulama islam menggunakannya sebagai dalil tentang kewajiban mengangkat
pemimpin, yang menjadi simbul terpenting dari eksistensi daulah islam.
Sepanjang sejarah, orang-orang muslim tidak pernah mengenal adanya pemisahan
antara agama dan daulah, kecuali setelah muncul sekularisme pada zaman
sekarang, dimana sebenarnya Rasulullah saw pernah memperingatkan dan
memerintahkan untuk melawannya.
b.
Negara dalam islam
Satu-satunya pertimbangan dari manusia modern adalah mendapatkan
keuntungan ekonomi atau kekayaan, ia bersedia untuk mengorbankan apapun untuk
mencapai tujuan ini, atas nama negara dan karena cinta bangsa. Harta, bangsa,
dan negara menduduki tempat kehormatan tertinggi dalam hati orang beradab.
Bangsa dan negara sekarang pun sedang membawa peradaban kepada kehancurang yang
tidak dapat dihindari. Di arat, suatu negara, sama saja apakah ia diberi etika
demokrasi atau fasis, komunis, pasti bertujuan ekspansi, agresi, dan
eksploitasi negara lain yang lemah. Agresi dalam salah satu bentuknya adalah
sari patinya negara beradab. Yang lemah tidak mempunyai hak apapun: hak hanya
dimiliki orang yang punya kuasa, yang mempunyai kekuatan untuk menuntut
penghormatan dan perhatian. Mentalitas ini dikembangkan oleh bangsa barat, dan
meghasilkan negara-negara yang berusaha mempunyai angkatan perang dan
persenjataan yang melebihi negara lain. Dan ini menghasilkan konflik yang
mematikan antara negara-negara dan keinginan untuk menghancurkan satu sama
lain.
Sebab pokok dari keadaan
ini terletak sama sekali pada konsep matrealisme tentang negara. Tentu saja
tiap negara harus mempunyai kekuatan, untuk memberhentikan agresi dan
melindungi yang lemah, dalam memberi keadilan sebaik-baiknya kepada semua
pihak. Kemajuan ilmu pengetahuan telah melipat gandakan kekuatan ini beribu
kali. Lain dari pada itu, pandangan hidup yang matrelialistis tealah membuat
orang semakin tidak peduli dalam memergunakan kekuatan dan kekuasaannya
terhadap sesama manusia, sedangkan dengan bersamaan kemajuan dalam menguasai
alam, penguasaan atas diri sendiri , yaitu satu-satunya yang dapat mengekang
kewenang-wenangan manusia terhadap manusia lain. Mengalami kemunduran dan
diremehkan. Akibatnya ialah, bahwa kekuasaan negara yang semakin besar ini,
yang mau tidak mau, harus dilaksanakan oleh pribadi-pribadi, lebih banyak
dipergunakan untuk memperbudak dan menghancurkan manusia daripada untuk
menyelamatkannya dari
kesewenang-wenangan dan untuk menjunjung tinggi hak dan keadilan.
Benarlah apa yang pernah dikatan orang, bahwa ilmu pengetahuan telah memberikan
kepada manusia kekuasaan pantas untuk dewa, tetapi manusia dalam
mempergunakannya menyandang kepribadian seorang biadab, malah menjadi ancaman
bagi kebahagiaannya, sedangkan orang yang begitu terpesona oleh berhala ini,
hinga ia sadar atau tidak sadar dengan bekerja sebagai bagian dari mesin ini,
ikut meghancurkan kemanusiaan.
Islam menciptakan
pemerintahan yang bertanggung jawab semacam itu, suatu pemerintahan oleh
orangorang yang menyadari, bahwa diatas segala al mereka bertanggung jawab
kepada Allah atas semua yang mereka kerjakan. Orang yang harus dihormati dan
memberi kepercayaan kepada seseorang untuk memegang pemerintahan itu jelas
menghormati dia adalah mereka yang paling banyak menjunjung tinggi kewajiban.
Orang yang demikian itulah yang harus diberi otoritas atas orang lain.
“Masing-masing
kamuadalah pemerintah dan masing-masing akan ditanyai tentang warga negaranya;
lelaki adalah pemerintah dania akan ditanyai tentang orang yang ada di
rumahnya, dan wanita adalah pemerintah rumah atas suaminya dan ia akan ditanyai
tentang siapa saja yang dalam peliharaannya; dan seorang pelayan adalah
pemerintah terhadap barang mlik majikannya dan ia akan ditanyai tentang apa
yang diamanatkan kepada dia” (Bu.11:11)
Semua orang adalah
sema dalam hukum termasuk orang yang diserahkan amanah pimpinan dan termasuk
pula Nabi Suci sendiri , yang harus tunduk kepada hukum sama seperti tiap
pengikutnya.
Negara islam
adalah negara yang demokratis dalam arti yang sesungguhnya. Kepala negara
adalah pelayann negara yang dibayar gaji tertentu untuk keperluannya dari kas
negara, seperti semua pelayan negara(pegawai). Kewajiban rakyat terhadap negara
ialah menghormati undang-undang dan mentaati perintahnya, asal ini tidk minta
pendurhakaan terhadap Allah dan Rasulnya. Hukum Qur’an adalah tertinggi, tetapi
tidak ada larangan untuk membuat undang-undang untuk memenuhi kebutuhan rakyat
asal tidak bertentangan dengan jiwa dari hukum yang diwahyukan. Akan tetapi
undang-undang yang diperlukan harus disusun menurut perintah dasar “Dan mereka yang
perkaranya dipustuskan dengan musyawarah antara mereka (42:38)
Karena ada perintah-perintah yang jelas untuk bermusyawarah guna
membuat undang-undang atau memutuskan perkara yang besar, maka para khalifah
pertama mempunyai dewan-dewan untuk menolong mereka dalam hal demikian. Juga
dalam sejarah dini islam ini. Imam-imam besar seperti Imam Abu Hanifah secara
bebas mempergunakan pengkiasan dalam membentuk undang-undang dan ijtihad diakui
sebagai sumebr undangundang islam disamping Qur’an dan Sunnah. Kedua prinsip
demokrasi yaitu kedudukan tertingggi dari undang-undang dan mengadakan
permusyawaratan pada waktu membuat undang-undang dan mengambil keputusan
penting lainnya. Dengan demikian ditetapkan sendiri leh Nabi Suci. Prinsip
ketiga dari demokrasi yaitu pemilihan kepala negara juga diakuinya. Ia sampai
mengatakan bahwa seorang negro pun dapat
ditunjuk untuk memerintahkan orang arab, dan dalam hal demikian ia harus
ditaati seperti semua kepala negara (Bu. 10:54). Karena alasan semacam itulah,
maka tindakan pertama dari para sahabat sepeninggalnya adalah memilih kepala
negara. Pada waktu tentang wafat nya tersiar, orang muslim berkumpul dan secara bebas mempebincangkan siapa yang
harus menggantikan Nabi Suci ebagai epala negara. Kaum Anshar, penduduk Madinah,
berpendapat bahwa harus ada dua kepala, satu dari kaum Quraisy dan satu dari
mereka, akan tetapi kekliruan pendapat ini ditujukan oleh Abu Bakar, yang dalam
satu khutbah menjelaskan bahwa satu negara harus hanya mempunyai satu kepala
(Bu. 62 :6). Dan seterusnya Abu Bakar dipilih, karena sepert Umar katakan, ia
adalah yang palinbg baik” dari mereka dan “yang paling pantas di antara kaum
Muslim, untuk mengurus perkara mereka” (Bu. 93:2). Pantas untuk memerintah
adalah satu-satunya ukuran untuk menentukan pilihan, seperti ditetapkan oleh
al-Qur’an “Allah memerintahkan kamu untuk menyerahkan(jabatan) kepercayaan
kepada mereka yang sepantas-pantasnya” (4:58).
D.
Akhlak dan Bernegara
a.
Akhlak bernegara
Sesungguhnya , akhlak
adalah nilai pemikiran yang telah menjadi sikap mental yang mengakar dalam
jiwa, lalu tampak dalam bentuk tindakan dan perilaku yang bersifat tetap,
natural, dan refleks. Jadi, jika nilai islam mencakup semua sektor kehidupan
manusia, maka perintah beramal shalih pun mencakup semua sektor kehidupan
manusia.
Tentunya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diperlukan pengertian akhlak bernegara ini untuk membuat diri kita ‘kebal’ terhadap kebatilan yang nantinya akan menggoda iman kita , dalam melaksanakan bakti kita kepada negara.
Tentunya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diperlukan pengertian akhlak bernegara ini untuk membuat diri kita ‘kebal’ terhadap kebatilan yang nantinya akan menggoda iman kita , dalam melaksanakan bakti kita kepada negara.
1. Musyawarah
Musyawarah dapat berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu.
Adapun salah satu ayat dalam Al – Qur’an yang membahas mengenai Musyawarah adalah surah Al-Syura ayat 38:
Adapun salah satu ayat dalam Al – Qur’an yang membahas mengenai Musyawarah adalah surah Al-Syura ayat 38:
وَالَّذِينَ
اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Artinya: “Dan (bagi)
orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat,
sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS.
Asy-Syura: 38)
Dalam ayat diatas , syura atau musyawarah sebagai sifat ketiga bagi masyarakat Islam dituturkan setelah iman dan shalat . Menurut Taufiq asy-Syawi , hal ini memberi pengertian bahwa musyawarah mempunyai martabat setelah ibadah terpenting , yakni shalat , sekaligus memberi pengertian bahwa musyawarah merupakan salah satu ibadah yang tingkatannya sama dengan shalat dan zakat . Maka masyarakat yang mengabaikannya dianggap sebagai masyarakat yang tidak menetapi salah satu ibadah .
Memang , musyawarah sangat diperlukan untuk dapat mengambil keputusan yang paling baik disamping untuk memperkokoh rasa persatuan dan rasa tanggung jawab bersama . Ali Bin Abi Thalib menyebutkan bahwa dalam musyawarah terdapat tujuh hal penting yaitu , mengambil kesimpulan yang benar , mencari pendapat , menjaga kekeliruan , menghindari celaan , menciptakan stabilitas emosi , keterpaduan hati , mengikuti atsar.
Dalam ayat diatas , syura atau musyawarah sebagai sifat ketiga bagi masyarakat Islam dituturkan setelah iman dan shalat . Menurut Taufiq asy-Syawi , hal ini memberi pengertian bahwa musyawarah mempunyai martabat setelah ibadah terpenting , yakni shalat , sekaligus memberi pengertian bahwa musyawarah merupakan salah satu ibadah yang tingkatannya sama dengan shalat dan zakat . Maka masyarakat yang mengabaikannya dianggap sebagai masyarakat yang tidak menetapi salah satu ibadah .
Memang , musyawarah sangat diperlukan untuk dapat mengambil keputusan yang paling baik disamping untuk memperkokoh rasa persatuan dan rasa tanggung jawab bersama . Ali Bin Abi Thalib menyebutkan bahwa dalam musyawarah terdapat tujuh hal penting yaitu , mengambil kesimpulan yang benar , mencari pendapat , menjaga kekeliruan , menghindari celaan , menciptakan stabilitas emosi , keterpaduan hati , mengikuti atsar.
2.
Perilaku
Adil
Di dalam Al-Qur’an
terdapat beberapa ayat yang memerintahkan supaya manusia berlaku adil dan
menegakkan keadilan. Perintah itu ada yang bersifat umum dan ada yang khusus
dalam bidang-bidang tertentu. Yang bersifat umum misalnya :
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl 16:90)
Sedangkan yang bersifat khusus misalnya bersikap adil dalam menegakkan hukum (QS. An-Nisa’ 4: 58); adil dalam mendamaikan conflik (QS. Al-Hujurat 49:9); adil terhadap musuh (QS. Al-Maidah : 8) adil dalam rumah tangga (QS. An-Nisa’ 4:3 dan 129); dan adil dalam berkata (QS. Al-An’am 6:152).
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl 16:90)
Sedangkan yang bersifat khusus misalnya bersikap adil dalam menegakkan hukum (QS. An-Nisa’ 4: 58); adil dalam mendamaikan conflik (QS. Al-Hujurat 49:9); adil terhadap musuh (QS. Al-Maidah : 8) adil dalam rumah tangga (QS. An-Nisa’ 4:3 dan 129); dan adil dalam berkata (QS. Al-An’am 6:152).
b.
Nomokrasi Islam
Pemikiran
tentang negara elah diletakan dasar-dasarnya oleh seorang pemikir islam yang
terkenal dan telah diakui otoritasnya oleh sarjana barat yaitu Ibnu Khaldun.
Ibnu Khaldun telah menemukan tipologi negara dengan menggunakan tolak ukur
kekuasaan. Pada dasarnya ia menggambarkan dua keadaan manusia yaitu keadaan
alamiah dan keadaan yang berperadaban. Dalam keadaan yang terakhir inilah
manusia mengenal dasar negara hukum.
Ibnu
Khaldun berpendapat, bahwa dalam mulk siyasi ada dua macam bentuk negara hukum
yaitu (1) siyasah diniyah, dan (2)
siyasah’agliyah. Muhammad Tahir menterjemahkan siyasah diniyah dengan
nomokrasi islam dan siyasah’agliyah dengan nomokrasi sekuler. Adapun nomokrasi
islam adalah suatu negara hukum yang memiliki prinsip-prinsip umum sebagai
berikut (1) prinsip kekuasaan sebagai amanah (2) prinsip musyawarah (3) prinsip
peradilan (4) prinsip persamaan (5) prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia (6) prinsip perdamaian (7) prinsip kesejahteraan dan (8)
prinsip ketaata rakyat.
Dalam al-Qur’an
disebutkan bawa sesungguhnya Penguasa Hakiki dan Mutlak adalah Allah SWT.
Kekuasaannya sangat luas dan tidak terbatas, mencangkup segala sesuatu yang ada
di alam semesta ini. Hal ini diungkapkan dalam surat Ali Imran , ayat 189 yang
artinya “kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan Allah maha Perkasa
atas segala sesuatu”
Dalam
surat al-Baqarah ayat 30 dilihat dari segi hukum islam ialah posisi mannusia
sebagai pengemban amanah Allah. Dalam hal ini Allah telah melimpahkan suatu
tugas kepada manusia untuk mengatur dan mengelola bumi ini dengan
sebaik-baiknya menurut ketentuan-ketentuan yang ia gariskan.
Dengan
demikian kekuasaan yang dimiliki manusia hanyalah sekedar amanah dari Allah
swt. Oleh karena itu seorang penguasa dalam memegang amanahnya harus sesuai
dengan ketntuan yang telah ditetapkan Allah, yakni harus menerakan
prinsip-prinsip umum nomokrasi islam sebagaimana telah disebutkan.
1)
Prinsip
kekuasaan sebagai amanah
2)
Prinsip
musyawarah
3)
Prinsip
keadilan
4)
Prinsip
persamaan
5)
Prinsip
peradilan bebas
6)
Prinsip
perdamaian
7)
Prinsip
kesejahteraan
8)
Prinsip
ketaatan rakyat
E.
Kesimpulan
Akhlak merupakan komponen dasar islam yang berisi ajaran tentang
perilaku atau sopan santun. Atau dengan kata lain akhlak dapat disebut sebagai
aspek ajaran islam yang mengatur perilaku manusia. Sedangkan negara adalah
suatu organisasi di antara sekelompok atau beberapa kolompok manusia yang
bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu dengan mengakui adanya suatu
pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan sekelompok atau beberapa
kelompok manusia tadi.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diperlukan pengertian akhlak
bernegara ini untuk membuat diri kita ‘kebal’ terhadap kebatilan yang nantinya
akan menggoda iman kita dalam bernegara khususnya. Akhlak bernegara mencangkup
dalam kegiatan musyawarah dan keadilan. Sedangkan nomokrasi Islam terdiri dari
8 prinsip yang harus diciptakan dalam sebuah negara.
Daftar Pustaka
Furqan
Arif.2002.Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum.Jakarta: Direktorat Jenderal
Kelembagaan Agama Islam Dapartemen Agama RI.Cet II
Azra
azyumardi,SuryanaToto,Abduhaq Ishak,Didin Hafiduddin.2002.Buku Teks Pendidikan
Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum.Jakarta; Dapatermen Negara RI.Cet III
Nasution
Ahmad Bangun;Siregar Rayani Hanum.2013.Akhlak Tasawuf.Jakarta: Raja Grafindo
Persada.Cet I
Ali
Maulana Muhammad.1935.Islamologi(Dinul Islam).Jakarta:Darul Kutubil Islamiyah
Sunarsono;Sartono
Kus Eddy;Dwikusrahmadi Sigit;Sutarini Nany. dkk2013.Pendidikan Kewarganegaraan
untuk Perguruan Tinggi.Yogyakarta;UNY Press.Cet II
Kamus
Besar Bahasa Indonesia
Asy-Syawi,Taufiq.1997.Syura
Bukan Demokrasi.Jakarta;Gema Insani Press(diterjemahkan Z.S)
Ilyas
Yunahar.2000.Kuliah Akhlaq.Yogyakarta;Pustaka Pelajar Offset.
Mukti,
Takdir dkk.1998.Membangun Moralitas Bangsa.Yogyakarta;LPPI UMY
Komentar
Posting Komentar